Mahkamah Pidana Internasional (ICC) baru-baru ini mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tuduhan tersebut berkaitan dengan aksi militer Israel di Gaza yang berlangsung sejak Oktober 2023 hingga Mei 2024.
Sebagai anggota ICC, sebanyak 124 negara seharusnya mematuhi keputusan ini dan menangkap Netanyahu serta Gallant jika keduanya berada di wilayah mereka. Namun, keputusan tersebut memicu reaksi beragam dari berbagai negara anggota maupun non-anggota ICC.
Penolakan dari Hungaria
Hungaria menjadi salah satu negara anggota ICC yang secara terbuka menolak keputusan tersebut. Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, bahkan menyatakan bahwa negaranya tidak akan mematuhi surat penangkapan itu.
Orban juga mengumumkan bahwa ia telah mengundang Netanyahu untuk berkunjung ke Hungaria dan berjanji akan menjamin keamanan Netanyahu selama berada di negaranya. Dalam pernyataannya, Orban menyebut keputusan ICC “salah” dan tidak adil. Hubungan baik antara Orban dan Netanyahu telah terjalin sejak lama, dengan Netanyahu pernah mengunjungi Budapest pada 2017.
Sikap Penolakan dari Negara Lain
Selain Hungaria, negara anggota ICC lainnya seperti Argentina juga menolak keputusan ICC. Presiden Argentina, Javier Milei, menyebut putusan tersebut mengabaikan hak Israel untuk membela diri dari serangan kelompok teroris seperti Hamas dan Hizbullah.
Amerika Serikat, yang bukan anggota ICC, juga secara tegas menolak keputusan tersebut. Presiden Joe Biden menyatakan bahwa surat penangkapan terhadap Netanyahu adalah tindakan yang “tidak masuk akal.” Ia menambahkan bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri dari ancaman keamanan. Presiden terpilih Donald Trump bahkan berencana untuk menjatuhkan sanksi kepada ICC jika ia resmi menjabat sebagai presiden tahun depan.
Implikasi Internasional dari Keputusan ICC
Surat perintah penangkapan ICC terhadap Netanyahu dan Gallant telah memperlihatkan adanya perpecahan pandangan di antara negara-negara dunia. Beberapa negara menilai langkah tersebut sebagai upaya menegakkan keadilan internasional, sementara lainnya memandangnya sebagai keputusan yang bias dan tidak proporsional.