Perspektif Dewi Sartika Tentang Pendidikan Bermakna: Pendapat Tentang Ide, Maksud, dan Tujuan Pendidikan – Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884, sebagai anak pertama dari pasangan Patih Bandung R. Rangga Somanagara dan Bupati Bandung R.A.A. Putri Wiranatakusumah IV, R.A. Rajapermas. Raden Somamur, Raden Yunus, Raden Entis, dan Raden Sari Pamerat adalah kakak beradik yang dibesarkan Dewi Sartika. Karena sekolah formal tidak lazim bagi perempuan priyayi pada zamannya, Dewi Sartika menghadapi kesulitan meskipun ayahnya berstatus sosial mapan sebagai Patih.
Pada era politik etis tahun 1900, Dewi Sartika mengenyam pendidikan dari ayahnya di Hollandsch Inlandshe School (HIS). Ketika ayahnya dibuang ke Ternate karena dicurigai terlibat peristiwa politik, pendidikannya dihentikan. Setelah itu Dewi Sartika dititipkan pada paman priyayi terkenalnya, Patih Aria Cicalengka. Namun Dewi Sartika mendapat perlakuan buruk dari kerabatnya karena ia adalah anak yang terbuang.
Pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus putri di Bandung setelah kepulangannya pada tahun 1902. Karena pertumbuhannya yang pesat, sekolah tersebut dipindahkan ke Jalan Ciguriang yang kemudian menjadi Jalan Dewi Sartika. Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, yang sepenuhnya mendukung advokasinya di bidang pendidikan.
Sekolah Dewi Sartika menghadapi tantangan pada masa Perang Dunia I, namun pemerintah Hindia Belanda bersedia membantu dengan dukungan Ibu Tijdeman dan Ibu Hillen. Sekolah tersebut memperoleh fasilitas baru pada tahun 1929 dan mengganti namanya menjadi “Sakola Raden Dewi” untuk menghormati Dewi Sartika.
Sepeninggal suaminya pada 25 Juli 1939, Dewi Sartika mengalami gangguan kesehatan. Dewi Sartika terpaksa mengungsi dari Bandung pada tahun 1947 akibat dampak Perang Dunia II dan pendudukan Jepang. Ia meninggal dunia di Cineam, Tasikmalaya, pada 11 September 1947. Gedung sekolah Dewi Sartika sempat digunakan pemerintah Indonesia meski perkuliahan telah usai saat Bandung dinyatakan aman. Kemudian makam Dewi Sartika dipindahkan ke Bandung.
Konteks pemikiran Dewi Sartika
mencerminkan pergeseran status perempuan dari waktu ke waktu dalam masyarakat Indonesia. Perempuan pernah menduduki posisi-posisi berkuasa di masa lalu, seperti Suhita dari Majapahit, Ratu Kalinyamat dari sejarah Demak, Ratu Sima dari Kerajaan Keling, dan Tribhuwanatunggadewi dari dinasti Isyana. Selain itu, perempuan juga memainkan peran kepemimpinan yang signifikan di sejumlah daerah, antara lain Aceh, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Ambon, Bali, dan Kalimantan.
Namun ada sejumlah penyebab yang menyebabkan terpuruknya status perempuan dalam masyarakat Sunda. Pertama, pasangan dijadikan simbol status oleh laki-laki pada masa sistem feodal Kerajaan Mataram yang mengubah kedudukan perempuan dari subjek menjadi objek. Kedua, masuknya Islam dibarengi dengan kesalahpahaman terhadap konsep Islam tentang perempuan, yang dibentuk oleh persepsi kurang baik terhadap perempuan di masyarakat Arab.
Status perempuan semakin terpuruk karena adat-istiadat kuno yang mencakup perkawinan paksa, perkawinan gantung (perkawinan anak), dan perceraian sepihak. Kejatuhan secara umum, khususnya di Pulau Jawa, dipengaruhi oleh memburuknya kondisi perekonomian Indonesia pada abad ke-19, khususnya pada masa kolonial. Oleh karena itu, berkembanglah adat istiadat yang membatasi kemandirian perempuan, khususnya terkait perkawinan anak.
Saat Dewi Sartika menetap di Cicalengka bersama rumah pamannya, ia menyaksikan langsung ketidakadilan tersebut. Pertemuan ini memperkuat tekad saya untuk menggunakan emansipasi untuk memajukan perempuan. Dewi Sartika berharap dapat membuka sekolah untuk anak perempuan dimana ia akan mengajar pelajaran agama Islam. Dalam pandangannya, emansipasi perempuan harus lebih berkonsentrasi pada peningkatan kesadaran akan hak dan tanggung jawab serta menanamkan pengetahuan nilai-nilai Al-Qur’an. Hal ini diharapkan dapat melepaskan perempuan dari gangguan yang dapat membahayakan keperawanannya.
Pendekatan Konseptual Pendidikan oleh Dewi Sartika
Suatu gagasan yang menyatukan beberapa komponen menjadi satu gagasan sentral dan disampaikan melalui kata-kata, simbol, atau tanda disebut konsep. Menurut Bruner, ada lima komponen yang membentuk sebuah ide: nama, contoh, atribut, nilai atribut, dan aturan. Ide ini muncul sebagai hasil pemikiran manusia dan ditentukan oleh fakta dan peristiwa. Hal ini dapat diterapkan untuk memecahkan kesulitan umum. Ketika suatu gagasan ditemukan dan kebenarannya diselidiki, maka gagasan itu menjadi sebuah konsep. Karena label kategori, nama, atribut, contoh (atribut positif dan non-esensial), dan definisi (pernyataan spesifik atribut konsep, hasil identifikasi atribut esensial dan non-esensial dari contoh positif dan negatif) semuanya merupakan contoh komponen konsep.