Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa orang tua yang bukan pemegang hak asuh anak tetap dapat dijerat hukum jika menculik anak kandungnya. Meskipun permohonan uji materi yang diajukan oleh sejumlah ibu ditolak, MK menegaskan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Keputusan ini memberikan perlindungan yang lebih jelas terhadap hak asuh anak dan memastikan bahwa tindakan penculikan oleh orang tua tanpa hak asuh tidak dibiarkan tanpa konsekuensi hukum.
MK Tolak Uji Materi Pasal 330 KUHP
Dalam sidang yang digelar pada 26 September 2024, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh lima ibu, termasuk Angelia Susanto, yang menginginkan agar frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP diperluas maknanya. Para pemohon berpendapat bahwa pasal ini harus mencakup semua pihak, termasuk orang tua kandung, agar mereka yang menculik anak tanpa hak asuh dapat dipidana.
Namun, MK menegaskan bahwa Pasal 330 ayat 1 KUHP sudah jelas dan tidak perlu ada perubahan. Menurut MK, frasa “barang siapa” dalam pasal tersebut sudah mencakup semua pihak tanpa terkecuali, termasuk ayah atau ibu kandung yang bukan pemegang hak asuh.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asuh Anak
Hakim konstitusi, Arief Hidayat, menjelaskan bahwa frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP mencakup siapa saja, termasuk ayah atau ibu kandung. Bahkan, peraturan ini telah diperbaiki dalam UU KUHP yang baru, yang akan berlaku pada Januari 2026, di mana frasa “setiap orang” digunakan sebagai pengganti frasa “barang siapa”. Ini memperkuat perlindungan hukum bagi anak-anak yang berada di bawah hak asuh orang tua yang sah menurut pengadilan.
Frasa ini tidak memberikan pengecualian terhadap orang tua kandung yang bukan pemegang hak asuh. Oleh karena itu, tindakan mengambil anak secara paksa oleh orang tua yang tidak memiliki hak asuh dianggap melanggar Pasal 330 ayat 1 KUHP, sebagaimana dijelaskan oleh MK.
Kasus Angelia Susanto dan Keputusan MK
Angelia Susanto adalah salah satu pemohon dalam uji materi ini. Setelah bercerai, Angelia mendapatkan hak asuh atas anaknya, namun mantan suaminya mengambil anak tersebut tanpa persetujuan. Hingga kini, Angelia belum bertemu dengan anaknya lagi. MK menolak uji materi yang diajukan, namun menegaskan bahwa tindakan mengambil anak secara paksa, bahkan oleh orang tua kandung, tetap dapat dikenai pidana.
Dalam kasus Angelia, MK tidak mengubah tafsiran Pasal 330 ayat 1 KUHP, namun menekankan bahwa tindakan tersebut harus diproses sesuai hukum. MK juga menekankan bahwa pihak kepolisian seharusnya tidak ragu untuk menerima laporan mengenai penculikan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh.
Harapan Perlindungan yang Lebih Baik Bagi Orang Tua Pemegang Hak Asuh
Walaupun MK menolak permohonan para pemohon, putusan ini memberikan kepastian hukum bahwa ayah atau ibu yang bukan pemegang hak asuh tidak kebal terhadap hukum jika menculik anak mereka. Kepolisian pun diharapkan lebih tegas dalam menangani kasus-kasus seperti ini, dan memastikan bahwa hak asuh anak yang telah ditetapkan oleh pengadilan dihormati oleh semua pihak, termasuk orang tua kandung.
Dengan adanya UU KUHP yang baru, diharapkan masalah penculikan anak oleh orang tua tanpa hak asuh dapat ditangani lebih baik, dan perlindungan hukum terhadap anak-anak serta pemegang hak asuh semakin diperkuat.