Kontroversi Pertimbangan Sikap Sopan dalam Proses Peradilan di Indonesia

Dalam sistem hukum di Indonesia, pertimbangan sikap sopan terdakwa sering kali menjadi sorotan, terutama dalam kasus-kasus besar seperti korupsi dan terorisme. Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim wajib mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan meringankan sebelum memberikan vonis. Namun, para ahli hukum, seperti Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti, mempertanyakan relevansi sikap sopan dalam meringankan hukuman, khususnya dalam kasus serius.

Pandangan Ahli Hukum tentang Sikap Sopan

Abdul Fickar menegaskan bahwa sikap sopan adalah norma dasar yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak dalam persidangan, termasuk terdakwa. Namun, menurutnya, tidak seharusnya sopan atau tidaknya seseorang dijadikan dasar untuk meringankan hukuman. Ia juga menyoroti bahwa hakim seharusnya memahami psikologi terdakwa untuk menghadapi berbagai sikap, termasuk kemungkinan terdakwa bersikap agresif akibat tekanan persidangan atau keyakinan bahwa mereka tidak bersalah.

“Kesopanan itu relatif dan sering kali menjadi bias, terutama bagi terdakwa yang baru pertama kali berhadapan dengan sistem peradilan,” ujar Abdul. Ia menilai bahwa penggunaan sikap sopan sebagai alasan meringankan justru menunjukkan ketidakmatangan hakim dalam memahami kondisi kejiwaan terdakwa.

Asal-Usul Pertimbangan Sikap Sopan

Menurut MA, pertimbangan sikap sopan sebagai faktor yang meringankan muncul dari yurisprudensi atau putusan hukum terdahulu. Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006, yang menyebutkan bahwa terdakwa yang bersikap sopan, mengakui perbuatannya, menyesal, dan belum pernah dihukum dapat memperoleh keringanan hukuman. Putusan serupa juga tercantum dalam Putusan Nomor 2658 K/PID.SUS/2015.

Namun, dalam konferensi pers baru-baru ini, Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa pertimbangan seperti sikap sopan sebenarnya bukan aturan baku dalam KUHAP. KUHAP hanya mengatur bahwa hakim harus mempertimbangkan faktor umum yang memberatkan dan meringankan. Sikap sopan, menurut Yanto, adalah bagian dari pertimbangan khusus yang diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.

Kritik Terhadap Penggunaan Sikap Sopan dalam Kasus Serius

Abdul Fickar menekankan bahwa penggunaan sikap sopan sebagai alasan meringankan sangat tidak relevan dalam kasus-kasus berat seperti korupsi dan terorisme. Ia menyatakan bahwa pengadilan adalah tempat untuk menguji argumen berdasarkan fakta dan hukum, bukan tempat untuk menilai tata krama terdakwa.

“Yang seharusnya menjadi fokus adalah bukti dan argumen hukum, bukan hal-hal yang sifatnya subjektif seperti sikap sopan,” jelas Abdul. Menurutnya, mempertimbangkan sikap sopan justru dapat mengaburkan tujuan utama pengadilan dalam mencari keadilan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Jika penggunaan sikap sopan ingin dihapus sebagai faktor meringankan, maka diperlukan revisi undang-undang. Hal ini ditegaskan oleh MA, yang menyatakan bahwa selama aturan tersebut masih berlaku, hakim tetap dapat menggunakan pertimbangan tersebut dalam putusannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *