Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mencabut deklarasi darurat militer setelah mendapatkan penolakan dari Majelis Nasional. Keputusan ini diambil hanya beberapa jam setelah pengumuman darurat militer yang dibuatnya pada malam sebelumnya. Meski demikian, situasi di Korea Selatan masih dianggap tidak stabil, mendorong Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Seoul untuk mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tetap waspada dan menghindari area demonstrasi.
Menurut Kedubes AS, meskipun deklarasi darurat militer telah dicabut, potensi gangguan masih ada. “Warga negara AS diimbau untuk berhati-hati dan menghindari kerumunan atau lokasi demonstrasi yang dapat berujung pada konfrontasi,” demikian pernyataan resmi mereka. Bahkan, semua jadwal konsuler pada hari itu dibatalkan sebagai langkah antisipasi.
Penolakan Parlemen dan Desakan Pencabutan
Darurat militer ini awalnya diumumkan Presiden Yoon dengan alasan untuk melindungi keamanan nasional dari apa yang ia sebut sebagai “ancaman kekuatan anti-negara”. Namun, Majelis Nasional secara tegas menolak langkah tersebut, dengan mayoritas anggota parlemen memberikan suara untuk mencabut deklarasi itu. Ketua Majelis Nasional, Woo Won-shik, menegaskan bahwa sesuai dengan konstitusi, presiden wajib mencabut darurat militer jika parlemen menuntutnya.
Anggota parlemen dari partai oposisi menyatakan bahwa deklarasi darurat militer ini ilegal dan bertentangan dengan konstitusi. Mereka juga meminta polisi dan militer untuk kembali menjalankan tugas normal, tanpa mematuhi perintah yang dianggap tidak sah.
Pengunduran Diri Massal Staf Pemerintah
Keputusan kontroversial Presiden Yoon memicu gelombang pengunduran diri dari para pejabat senior di pemerintahannya. Kepala staf kepresidenan dan sejumlah sekretaris senior mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk tanggung jawab atas keputusan tersebut. Media lokal melaporkan bahwa langkah ini mencerminkan ketidaksetujuan internal atas kebijakan darurat militer yang dinilai kurang tepat.
Unjuk Rasa Warga dan Kritik Partai Politik
Warga Seoul turut menyuarakan penolakan terhadap darurat militer melalui aksi unjuk rasa di depan gedung parlemen. Meski gedung parlemen sempat dijaga ketat oleh pasukan darurat militer, para anggota parlemen tetap berhasil menggelar pertemuan dan mengesahkan resolusi untuk mencabut darurat militer tersebut.
Han Dong-hoon, pemimpin partai yang berkuasa, menyampaikan penyesalannya atas langkah yang diambil pemerintah. Ia menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan tidak konstitusional yang mengganggu kestabilan negara. Sementara itu, Lee Jae-myung dari Partai Demokrat mendesak pemerintah untuk menghormati keputusan parlemen dan memulihkan situasi ke jalur yang normal.
Dampak pada Hubungan Internasional
Amerika Serikat, sebagai sekutu dekat Korea Selatan, awalnya menyatakan keprihatinan terhadap situasi tersebut. Gedung Putih mengaku lega setelah deklarasi darurat militer dicabut. Mereka menekankan pentingnya demokrasi sebagai dasar hubungan bilateral antara kedua negara. Namun, mereka juga mencatat bahwa deklarasi darurat militer ini menunjukkan tantangan politik internal yang dapat memengaruhi stabilitas kawasan.
Penanganan Krisis Politik di Korea Selatan
Kasus darurat militer ini menyoroti dinamika politik yang kompleks di Korea Selatan, terutama terkait hubungan antara pemerintah dan parlemen. Masyarakat internasional berharap agar Korea Selatan dapat segera mengembalikan stabilitas politik dan melanjutkan pemerintahan yang demokratis.