Mulai tahun 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia akan naik dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini didasarkan pada amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menyikapi kebijakan ini, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Hilmi Adrianto, menyatakan bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada sektor e-commerce di Indonesia, khususnya dalam hal daya beli masyarakat dan biaya operasional di pasar digital.

Hilmi menambahkan, kenaikan PPN dapat memengaruhi baik kemauan maupun kemampuan konsumen untuk berbelanja online, yang pada akhirnya juga berdampak pada harga produk di platform e-commerce. Meski begitu, ia memastikan bahwa idEA akan tetap bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan penerapan kebijakan ini tidak memberikan tekanan berlebihan pada konsumen maupun pelaku bisnis. Selain itu, idEA berkomitmen mendukung pertumbuhan ekosistem perdagangan elektronik (PMSE) di Indonesia agar tetap aman, nyaman, dan inklusif.

Respons Pemerintah terhadap Kenaikan PPN

Kementerian Keuangan memastikan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini akan efektif diberlakukan pada Januari 2025, sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah siap memberikan penjelasan menyeluruh terkait alasan kenaikan PPN ini, mengingat pentingnya APBN sebagai penyeimbang ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa APBN perlu tetap kuat agar dapat merespons berbagai tantangan ekonomi. Meskipun banyak pihak mengkritik kenaikan pajak ini di tengah daya beli masyarakat yang melemah, pemerintah berkomitmen menjaga fungsi APBN sebagai penyangga ekonomi (shock absorber), terutama dalam menghadapi krisis ekonomi global.

Dampak Kenaikan PPN Terhadap Konsumsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Pengamat ekonomi Ronny P. Sasmita dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution memaparkan bahwa kenaikan PPN ini berpotensi menekan daya beli rumah tangga, yang pada akhirnya bisa berdampak pada penurunan konsumsi masyarakat. Menurutnya, perusahaan mungkin akan menaikkan harga barang dan jasa untuk menutupi beban kenaikan PPN, yang berpotensi mengurangi minat masyarakat untuk membeli barang dan jasa.

Jika konsumsi menurun, perusahaan dapat mengurangi produksi, bahkan mungkin melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Penurunan permintaan ini juga diperkirakan akan menurunkan minat investasi di Indonesia, sebab investor akan ragu berinvestasi ketika permintaan pasar menurun. Pada akhirnya, target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pemerintah bisa lebih sulit dicapai di tahun mendatang.

Kekhawatiran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Bawah 5%

Direktur INDEF, Eko Listiyanto, turut menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak kenaikan PPN ini. Ia memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada di bawah 5% jika kenaikan PPN diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang lesu. Menurutnya, tekanan pada daya beli akibat kenaikan PPN bisa memperburuk tren penurunan konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Eko mencatat bahwa konsumsi rumah tangga sudah mulai menurun sejak pandemi COVID-19, dengan pertumbuhan yang biasanya mencapai 5% per kuartal sebelum pandemi, namun kini hanya sekitar 4,9%. Tren ini, menurutnya, seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.

Kesimpulan dan Harapan terhadap Kebijakan PPN

Dengan kenaikan PPN menjadi 12% yang akan diterapkan pada Januari 2025, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan daya beli masyarakat. Penerapan kebijakan ini membutuhkan kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, dan industri untuk meminimalkan dampak negatif terhadap ekonomi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *