Kepala Badan Pangan Nasional (NFA), Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai tahun depan tidak akan dikenakan pada pangan pokok strategis, khususnya beras produksi lokal. Beras yang terkena PPN 12% hanyalah beras impor yang biasanya digunakan di hotel dan restoran mewah, seperti beras Jepang dan shirataki.
Menurut Arief, kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus melindungi petani lokal. Beras premium dalam negeri, termasuk beras aromatik lokal, tidak dikenakan tarif PPN karena pemerintah berkomitmen mendukung produksi pangan domestik.
Kualifikasi Beras yang Terkena PPN
Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023, beras dikategorikan menjadi beras premium dan medium, yang ditentukan dari derajat sosoh dan tingkat butir patah. Namun, PPN 12% hanya diberlakukan untuk beras khusus yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Kebijakan ini telah dibahas dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa hanya barang mewah yang dikenakan pajak, bukan kebutuhan dasar masyarakat.
Hal serupa ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Keduanya memastikan bahwa beras lokal, baik premium maupun medium, tetap bebas dari PPN 12%. Presiden Prabowo Subianto juga menekankan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan rendah melalui kebijakan yang selektif ini.
Stimulus dan Bantuan Pangan untuk Mendukung Masyarakat
Sebagai bentuk kompensasi atas kebijakan PPN 12%, pemerintah akan mendistribusikan bantuan pangan berupa beras kepada 16 juta penerima manfaat pada Januari dan Februari 2025. Perum Bulog telah ditugaskan oleh NFA untuk menyalurkan 160 ribu ton beras per bulan kepada masyarakat kurang mampu. Beras yang dibagikan memiliki kualitas medium tetapi setara premium, sebagai bagian dari perhatian pemerintah terhadap masyarakat rentan.
Selain itu, program lain seperti Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) juga akan terus dilaksanakan. Sebanyak 150 ribu ton beras dialokasikan untuk program SPHP pada Januari dan Februari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan di pasar.
Prinsip Keadilan dalam Kebijakan Perpajakan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa prinsip keadilan dan gotong-royong menjadi dasar dalam penerapan kebijakan perpajakan. Pajak dikenakan pada kelompok masyarakat yang mampu, sementara kelompok kurang mampu dilindungi dengan berbagai bantuan sosial. Barang kebutuhan pokok seperti beras lokal, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tetap dibebaskan dari PPN.
Di sisi lain, barang-barang mewah seperti layanan rumah sakit kelas VIP, pendidikan berstandar internasional, dan makanan premium dikenakan tarif PPN 12%. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara penerimaan negara dan keberpihakan pada masyarakat.
Insentif dan Perlindungan Ekonomi 2025
Pemerintah juga menyediakan berbagai insentif perpajakan untuk mendorong dunia usaha dan UMKM. Beberapa insentif tersebut meliputi perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM, insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), dan bantuan sosial seperti diskon listrik 50%. Total alokasi anggaran mencapai Rp 265,6 triliun untuk tahun 2025, yang sebagian besar ditujukan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.
Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga pertumbuhan ekonomi, melindungi masyarakat rentan, dan menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan. Kebijakan ini juga akan terus disempurnakan berdasarkan data dan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitasnya.