IWAS, seorang pria tunadaksa yang tidak memiliki kedua tangan, menjadi tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi berinisial MA di sebuah homestay di Kota Mataram, NTB. Penetapan tersangka ini mengejutkan banyak pihak, termasuk keluarga IWAS. Ibunya, GAA, menyatakan sulit mempercayai tuduhan tersebut karena kondisi fisik anaknya yang membuatnya tidak mandiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
“Saya sangat syok. Anak saya bahkan tidak mampu melepas pakaian sendiri, bagaimana mungkin ia bisa melakukan pemerkosaan?” ujar GAA. Meski demikian, pihak kepolisian memastikan penetapan tersangka dilakukan berdasarkan bukti yang kuat, termasuk hasil visum korban dan keterangan dua saksi ahli.
Dugaan Korban Lebih Dari Satu
Kasus ini semakin rumit dengan adanya laporan dari pemilik homestay, Shinta, yang mengungkapkan bahwa IWAS sering membawa perempuan berbeda ke penginapannya, bahkan beberapa kali dalam sehari. “Dia sering datang, kadang dua hingga tiga kali sehari, selalu dengan perempuan yang berbeda,” jelas Shinta.
Selain MA, beberapa korban lain juga disebut mengalami pelecehan, namun belum ada yang berani melapor. Menurut Shinta, beberapa korban kebingungan bagaimana cara melaporkan kejadian yang menimpa mereka.
Korban Mayoritas Mahasiswi
Pendamping korban dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB, Rusdin Mardatillah, mengonfirmasi bahwa mayoritas korban IWAS adalah mahasiswi. Dari laporan yang ada, tiga korban telah memberikan keterangan kepada polisi, dengan satu di antaranya, MA, menjadi pelapor utama.
Menurut Rusdin, korban lain masih ragu untuk berbicara karena berbagai alasan, termasuk ketakutan dan tekanan sosial. Meski demikian, Koalisi Anti Kekerasan Seksual terus mendukung para korban untuk mencari keadilan.
Proses Hukum dan Tindakan Kepolisian
IWAS dijerat dengan Pasal 6 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kendati telah menjadi tersangka, IWAS tidak ditahan secara fisik melainkan hanya dikenai tahanan rumah. Polisi menjelaskan bahwa fasilitas di Polda NTB belum memadai untuk menahan tersangka dengan kebutuhan khusus.
Polemik dan Tuntutan Keadilan
Kasus ini memicu perdebatan publik, terutama terkait kemampuan IWAS dalam melakukan tindakan tersebut mengingat keterbatasan fisiknya. Di sisi lain, bukti-bukti yang diajukan polisi dianggap cukup kuat untuk melanjutkan proses hukum.
Masa Depan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Kasus ini menyoroti pentingnya fasilitas dan prosedur yang inklusif dalam penanganan kasus hukum bagi penyandang disabilitas, sekaligus menunjukkan perlunya perlindungan hukum yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual.