Kepolisian Korea Selatan resmi memulai penyelidikan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol atas dugaan tindak pemberontakan, Kamis (5/12). Kepala Badan Investigasi Nasional, Woo Jong Soo, mengungkapkan bahwa kasus ini telah dilimpahkan ke institusinya untuk diproses lebih lanjut. Tuduhan pemberontakan ini merupakan pelanggaran serius yang bahkan dapat berujung pada hukuman mati, sekalipun dilakukan oleh seorang presiden.

Penyelidikan ini dilakukan setelah Yoon secara tiba-tiba mendeklarasikan darurat militer pada Selasa (3/12) malam. Keputusan tersebut mengejutkan masyarakat dan menciptakan kekacauan, sebab Yoon mengklaim adanya ancaman dari Korea Utara serta kekuatan anti-negara yang memaksanya mengambil langkah drastis ini.

Deklarasi Darurat Militer yang Memicu Krisis

Dalam pidatonya yang disiarkan langsung di televisi, Yoon menegaskan bahwa darurat militer diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman eksternal. Ia menyalahkan Majelis Nasional, yang didominasi oposisi, atas situasi ini. Menurutnya, oposisi telah merusak stabilitas negara melalui pemotongan anggaran penting dan tindakan politik lainnya yang dinilai kontraproduktif.

Yoon menuding oposisi sebagai kelompok yang ingin menghancurkan demokrasi Korea Selatan dan menggambarkan parlemen sebagai “sarang penjahat”. Ia juga menyebut bahwa tindakan oposisi telah merusak sistem peradilan dan administrasi negara.

Penolakan dan Pencabutan Status Darurat Militer

Deklarasi darurat militer langsung mendapat penolakan dari berbagai pihak. Ketua Partai Demokratik, Lee Jae Myung, menyebut langkah itu ilegal dan mengajak masyarakat turun ke jalan untuk menolak kebijakan tersebut. Dalam waktu singkat, massa berkumpul di depan gedung Majelis Nasional, menuntut agar status darurat militer dicabut.

Parlemen Korea Selatan kemudian menggelar sidang pleno yang dihadiri 190 anggota, jauh melebihi kuorum yang diperlukan. Dalam sidang tersebut, parlemen secara bulat memutuskan bahwa deklarasi darurat militer oleh Yoon tidak sah. Menyusul keputusan parlemen, Yoon akhirnya mencabut status darurat militer yang hanya berlangsung selama enam jam.

Tuntutan Pemakzulan Semakin Menguat

Meskipun darurat militer telah dicabut, gelombang protes tidak mereda. Masyarakat tetap mengecam tindakan Yoon dan mendesak agar ia mundur dari jabatannya. Partai oposisi, yang dipimpin oleh Partai Demokratik, segera mengajukan mosi pemakzulan terhadap Yoon dengan alasan bahwa deklarasi darurat militer tanpa konsultasi dengan parlemen adalah pelanggaran hukum yang serius.

Mosi tersebut dijadwalkan untuk diputuskan melalui pemungutan suara pada Sabtu (7/12). Agar mosi ini lolos, dibutuhkan dukungan dua pertiga dari anggota parlemen, yaitu sekitar 200 suara. Partai Demokratik, dengan 176 kursi, membutuhkan sembilan suara tambahan untuk mencapai target tersebut.

Sikap Partai Pendukung Yoon yang Terpecah

Di sisi lain, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang merupakan pendukung Yoon, turut mengkritik kebijakan darurat militer yang dianggap tidak konstitusional. Ketua PPP, Han Dong Hoon, bahkan meminta Yoon untuk keluar dari partai guna mencegah kekacauan lebih lanjut. “Kami tidak mendukung tindakan yang melanggar konstitusi. Presiden harus bertanggung jawab atas tindakannya,” ujar Han dalam sebuah pernyataan.

Masa Depan Politik Yoon di Ujung Tanduk

Krisis politik ini terus mengguncang Korea Selatan, dengan seruan agar Yoon segera mundur semakin nyaring terdengar. Demonstrasi terjadi di berbagai kota besar, dan tekanan terhadap Yoon semakin meningkat, baik dari oposisi maupun sebagian pendukungnya sendiri. Keputusan parlemen terhadap mosi pemakzulan ini akan menjadi penentu masa depan politik Presiden Yoon.

Kata Kunci:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *