Fenomena “No Viral No Justice”: Antara Kritik dan Refleksi Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Kasus penganiayaan terhadap seorang karyawati toko roti di Cakung yang dilakukan oleh George Sugama Halim, anak pemilik toko tersebut, kembali memunculkan stigma “No Viral No Justice.” Frasa ini menjadi trending topic di media sosial X (dahulu Twitter) setelah video penganiayaan yang terjadi pada 17 Oktober 2024 viral pada pertengahan Desember 2024.

Kasus ini menuai kritik tajam dari masyarakat, terutama karena dugaan lambannya proses penanganan oleh pihak kepolisian. George ditangkap setelah video tersebut menarik perhatian netizen dan media massa. Tagar “No Viral No Justice” bahkan mencatat lebih dari 15.900 cuitan, menunjukkan betapa besar perhatian publik terhadap kasus ini.

Polisi Dituduh Lamban, Kapolres Minta Maaf

Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, mengakui bahwa penanganan kasus ini terkesan lambat. Ia menyebut keterlambatan itu disebabkan oleh sejumlah kendala nonteknis yang tidak disengaja. Nicolas juga meminta maaf kepada masyarakat atas keterlambatan tersebut.

Awalnya, laporan yang diajukan oleh korban Dwi Ayu Dharmawati pada Oktober 2024 diklasifikasikan sebagai pidana umum biasa tanpa dilengkapi video yang viral belakangan. Hal ini, menurut Nicolas, memengaruhi langkah penyidik yang harus mematuhi prosedur standar operasional (SOP) sesuai aturan Kapolri.

Namun, setelah video penganiayaan tersebut menyebar luas di media sosial, polisi bergerak lebih cepat. George akhirnya ditangkap di Sukabumi, Jawa Barat, dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun berdasarkan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.

Fenomena “No Viral No Justice” dalam Sistem Hukum

Pengamat media sosial sekaligus Koordinator Bijak Bersosmed, Enda Nasution, menyebut bahwa viralnya sebuah kasus sering kali menjadi faktor penting dalam mendorong percepatan tindakan hukum. Ketika sebuah insiden mendapatkan perhatian besar dari publik dan media, aparat penegak hukum biasanya lebih cepat merespons.

Namun, Enda juga mengingatkan bahwa tidak semua hal yang viral merupakan kebenaran. Dalam beberapa kasus, netizen justru mampu mengungkap kejanggalan yang kemudian menjadi bahan penyelidikan lebih lanjut oleh polisi. Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial kini berfungsi sebagai kelompok tekanan yang kuat dalam memengaruhi opini publik.

Kritik Terhadap Respons Lambat Aparat Kepolisian

Fenomena “No Viral No Justice” bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Kasus serupa pernah menimpa Lachlan Gibson, seorang warga yang terlibat kecelakaan pada Januari 2023. Kala itu, laporan Gibson tidak segera diproses hingga akhirnya viral di media sosial. Direktur Eksekutif Lemkapi, Edi Hasibuan, menilai fenomena ini harus menjadi momen refleksi bagi kepolisian untuk lebih responsif terhadap laporan masyarakat tanpa menunggu kasus menjadi viral.

Edi menegaskan pentingnya evaluasi terhadap perilaku aparat di tingkat bawah yang kerap menganggap laporan masyarakat sebagai hal sepele. Ia berharap setiap laporan ditangani dengan cepat dan profesional agar kepercayaan publik terhadap sistem hukum dapat dipulihkan.

Media Sosial sebagai Katalisator Perubahan

Media sosial telah menjadi alat penting dalam menggerakkan opini publik dan mendorong percepatan tindakan hukum. Namun, fenomena ini juga mengingatkan bahwa sistem penegakan hukum harus dapat berjalan efektif tanpa bergantung pada sorotan viral. Aparat harus memastikan bahwa setiap kasus mendapatkan perhatian yang layak berdasarkan fakta dan bukti, bukan sekadar karena tekanan publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *